Malam itu, Senin (21/5), sekitar pukul 10, saya dan istri tengah mampir di sebuah Apotik di daerah Karang Menjangan (Karmen) Surabaya untuk membeli obat. Ketika tengah menanti racikan obat, tiba-tiba saya dan istri dikejutkan oleh sesosok bocah kecil dengan pakaian sobek, compang-camping dan kaki penuh debu jalanan, yang muncul dari balik pintu Apotik. “Mas, sak welas’e,” iba bocah itu sambil menadahkan tangannya. Saya dan istri saling berpandangan mata, dan sejurus kemudian saya dekati bocah itu. Perbincangan pun terjadi.
Rokhim, namanya. Bocah cilik yang mengaku berusia 9 tahun dan duduk di kelas dua SD Kajati itu, setiap sore hari mesti berjalan kaki dari tempat tinggalnya di bilangan Makam Rangkah sampai Karang Menjangan, untuk mengais rejeki. Ya, bocah itu mengemis. Bersama adiknya, Pipin (8 tahun), Rokhim kecil menyusuri keramaian kota sambil mengharap belas kasihan.
“Kenapa jadi pengemis?” sergah saya. Rokhim kecil kebingungan mencari jawaban. Ketika saya tanya ulang, ia pun menjawab lesu, “Dikongkon (disuruh) Bapak”.
“Sehari dapet uang berapa?” tanya saya menyelidik. Sepengetahuan saya, pengemis kini menjadi profesi yang ”menjanjikan”. Hanya bermodal ”muka tebal” sang pengemis bisa mengumpulkan puluhan ribu rupiah. Tebakan saya tidak salah. ”Dua puluh ribu, Mas,” jawab Rokhim polos. Dia juga menyebutkan penghasilan Bapaknya, Muslih, sekitar 20 ribu, dan Ibunya, Sunarti 30 ribu. Kalau ditotal mencapai 70 ribu rupiah perhari. Penghasilan yang cukup besar bukan?
”Kalau kamu pulang nggak bawa uang, bagaimana?” lanjut saya. ”Ya, diseneni (dimarahi) Bapak, Mas,” kata bocah itu lirih.
Rokhim bertutur, ia sering dipukul bapaknya menggunakan sandal. Bapaknya, Muslih, adalah seorang pemulung asal Sampang Madura. Ibunya, Sunarti, juga asal Madura, punya profesi yang sama dengan Rokhim, pengemis. Rokhim mengaku punya empat orang adik. Pipin (8 tahun), biasa mengemis bersama Rokhim di Karmen. Evi (7 tahun) dan Imam (6 tahun), biasa bersama sang Ibu beroperasi di bilangan Pacar Kembang. Fitri (1 bulan) dititip di Mbahnya.
”Cita-citamu apa?” tanya saya. ”Mau jadi dokter,” jawabnya tersipu malu. Ketika saya tanya bagaimana cara dia mengejar cita-citanya, ia hanya angkat bahu, tanda tak tahu.
Saya, dan juga mungkin Anda, termasuk orang ’gregetan’ melihat fenomena pengemis. Apalagi yang mengeksploitasi anak. Kadang saya berpikir, bila saya beri dia uang, dia akan berpikir bahwa ini (mengemis) adalah cara yang baik untuk mencari rejeki. Tapi bila tak diberi, rasa iba kadang menggelayut.
”Kamu sudah makan?” tanya saya. ”Belum,” jawabnya singkat. Biasanya ia makan larut malam sepulang mengemis.
”Berapa kamu dikasih sangu oleh Bapak?”
”Seribu” jawabnya.
Batin saya semakin kesal dengan orang tuanya. Bayangkan, sehari dapat 20 ribu, hanya dikasih sangu seribu rupiah. Sungguh eksploitasi keji. Akhirnya, saya belikan Rokhim kecil nasi goreng sebagai ganti uang. Menurut saya, ia lebih baik dari pada saya beri dia uang yang nantinya disetor kepada sang Bapak, Muslih.
*****Pembaca, Rokhim dan adik-adiknya merupakan potret realitas Balada Anak Negeri yang terlantar akibat perlakuan salah dari orang tua. Masih banyak Rokhim-rokhim lainnya di penjuru negeri yang mengalami perlakuan serupa dari orang tua. Mereka bertebaran di jalan. Ada yang jadi pemulung, pengemis, pengamen, dan lain sebagainya. Masa depan mereka pun terancam. Akan kah kita berdiam diri? Mari, Peduli untuk Berbagi.
Senin, 26 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
blog lo oke nih Bro...
BalasHapusterus berkarya n berkhidmat yah..
tetap jaga amanah...
Ira (itnarnovich@gmail.com)