Selasa, 19 Mei 2009
Kepemimpinan yang Memberdayakan vs Memperdayakan
Sahabat Berbagi, Stephen Covey dalam the 8th Habit mendefinisikan kepemimpinan sebagai seni untuk memberdayakan. Dalam manuskripnya tersebut, Covey juga membagi peran kepemimpinan menjadi 4 peran: panutan, perintis, penyelaras, dan pemberdaya. Salah satu indikator pemimpin yang memberdayakan adalah munculnya kegairahan yang luar biasa pada orang-orang yang dipimpinnya, sehingga gairah itu menjadi energi yang memberdayakan potensi yang mereka miliki.
Sahabat Berbagi, saya coba cuplikkan sepenggal kisah wafatnya baginda Nabi Muhammad SAW. Kisah ini bisa dilihat dalam buku Sirah Nabawiyah, karya Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfury. Saat itu, para sahabat terkemuka sangat terpukul mendengar dan mendapatkan kenyataan bahwa sang rasul tercinta, guru, sahabat, pemimpin mereka, Muhammad SAW telah tiada. Ya. para sahabat sangat terpukul. Bahkan, seorang sahabat sekelas Umar bin Khattab mengekspresikan kesedihannya dengan berlebihan. Umar sambil menghunus pedangnya, dengan lantang berkata, “siapa yang mengatakan Muhammad SAW telah meninggal, akan aku penggal kepalanya.”
Sahabat Berbagi, Para sahabat tersebut, termasuk Umar, benar-benar dalam kondisi yang sangat emosional hingga kehilangan akal sehat.
Saat itu hanya sedikit sahabat yang mampu mengendalikan emosinya, salah satunya adalah Abu Bakar Asshiddiq. Khalifah pertama ini kemudian menenangkan Umar dan para sahabat yang begitu emosional dengan berkata, “Barang siapa yang (selama ini) menyembah Muhammad SAW, maka ketahuilah sesungguhnya Muhammad (kini) telah meninggal. Dan barang siapa yang (selama ini) menyembah Allah SWT, maka ketahuilah sesungguhnya Allah SWT akan selama hidup dan tiada akan pernah mati.” Kemudian Abu Bakar Menyitir Al Qur’an Surat Ali Imron ayat 144. Ucapan Abu Bakar ini sontak menyadarkan para sahabat, bahwa mereka salah dan telah terjerumus pada kondisi yang sangat emosional. Kisah yang terjadi pada masa rasulullah SAW itu, menggambarkan bahwa, manusia punya potensi untuk melakukan kultus dan penghambaan kepada sesama. Padahal ini sangat berbahaya. Karena dapat melunturkan nilai-nilai akidah kita sebagai muslim.
******
Dalam konteks kekinian, termasuk di pemilu 2009 yang akan kita jalani ini, kita mendapatkan betapa masih banyak calon pemimpin kita yang terjebak pada upaya mengkultuskan dirinya. Terlebih masyarakat negeri ini yang masih kental budaya patron-klien. Bahkan ada sebuah adagium dalam bahasa jawa yang berbunyi “pejah gesang ndherek” (pengikut hidup-mati). Kondisi ini jelas sangat berbahaya, karena sang pemimpin menjadi sangat berpengaruh, semua perkataannya dipatuhi tanpa reserve. Tak ayal pengikutnya menjadi sangat emosional dan jauh dari akal sehat. Ketika sang pemimpin menginstruksikan sesuatu yang hal negatif, bisa dibayangkan akibatnya, fatal. Karena rasio sudah tidak bisa digunakan, yang ada hanya kepercayaan buta, tanpa dasar. Biru bisa jadi merah, kuning bisa disebut hijau. Apa kata sang pemimpin saja. Yang lebih menyedihkan, para pemimpin tersebut seolah menikmati berada dalam kenyataan pengikut yang sangat menanggalkan akal sehat. Bahkan terkesan eksploitatif, memanfaatkan realitas menyedihkan ini. Jadi bukan memberdayakan, tapi malah memperdayakan. Dan sejarah bangsa ini sudah banyak mengisahnya kepemimpinan yang memperdayakan.
Sahabat Berbagi, mari secara sadar kita pilih pemimpin bangsa ini yang akan membawa bangsa ini pada kemajuan di masa depan. Dan itu adalah pemimpin yang sanggup memberdayakan potensi bangsa ini, bukan pemimpin yang memperdayakan. Semoga Alla SWT memberikan petunjuk kepada kita dan juga kepada para calon pemimpin bangsa ini. Amiin.
Pendidikan yang Memb[p]erdayakan?
Sahabat Berbagi yang luar biasa, apa kabar Anda semua? Semoga rahmat dan karunia Allah SWT senantiasa tercurah pada kita. Amin.
Sahabat Berbagi, di bulan-bulan ini, para orang tua yang memiliki anak yang bersekolah formal dan duduk di kelas akhir di masing-masing jenjang pendidikan (dasar, menengah, atas) tentu tengah berada dalam kondisi harap-harap cemas. Detak jantung pun serasa lebih cepat dari biasanya. Ya. bulan April-Mei-Juni memang identik dengan masa akhir studi berupa ujian akhir. Dan sejak beberapa tahun belakangan, pemerintah melalui departemen pendidikan telah membuat sebuah terobosan berupa ujian akhir yang distandarkan secara nasional.
Sejatinya, tidak ada yang salah dengan upaya membuat standarisasi pendidikan nasional. Akan tetapi, realitas yang kini terjadi adalah kesan bahwa Ujian Nasional (UN) menjadi momok menakutkan bagi siswa, dan sudah barang tentu orang tua. Buktinya, banyak orang tua siswa yang resah kala UN menjelang. Belum lagi fenomena siswa yang ‘tiba-tiba’ menjadi rajin mengasah spiritualnya dengan kegiatan doa bersama, istighotsah, dan lain sebagainya. Saking khawatirnya para orang tua, bahkan sampai ada yang memproteksi, secara berlebihan, aktivitas anak jelang pelaksanaan UN; tidak boleh keluar rumah, nonton tivi, dan sebagainya. Suasana ‘mencekam’ yang jauh dari kondusif untuk menumbuhsuburkan potensi siswa tersebut. Bahkan tidak sedikit yang mengatakan bahwa konsep UN tidak adil, karena seolah menafikan proses belajar siswa selama bertahun-tahun, yang hanya ditentukan oleh masa 3 hari ujian. Tak ayal UN pun menjadi perbincangan hangat dan perdebatan sengit.
Sahabat Berbagi, sejatinya, kalau kita mau mengkaji hakikat pendidikan jelas bahwa model pendidikan yang saat ini berjalan di negeri kita adalah pendidikan yang sangat mengabaikan sisi keragaman potensi siswa. Standarisasi yang terjadi lebih pada pengkerdilan potensi siswa. Alih-alih memberdayakan potensi siswa, yang terjadi malah memperdayakan. Sungguh naif.
Belum lagi kalau mau ditilik dari perspektif anak. Saat ini anak lebih sering dijadikan obyek, ketimbang subyek pendidikan. Di setiap jenjang pendidikan anak nyaris tidak dilibatkan sama sekali dalam pemilihan sekolah. Tak jarang sampai pilihan kegiatan ekstra kurikuler pun jadi domain dominan orang tua. Jadilah anak “hidup” untuk “sekolah”. Pagi, sekolah formal (fullday), sore ikut LBB, Malam kursus ketrampilan. Terbayang penat dan jenuhnya anak dengan aktivitas harian, yang sejatinya, kalau boleh memilih mereka akan memilih lebih banyak di rumah, bermain dengan kawan-kawan sebayanya. Belum lagi ketika masa ujian sekolah, baik ujian tengah semester ataupun ujian akhir. Anak lebih banyak dituntut untuk ‘prestasi akademik’ oleh kita, orang tuanya. Harus dapat nilai A lah, padahal itu hanya nilai artifisial yang kadang tidak ada korelasinya sama sekali dengan nilai sejati dalam kehidupan.
Sahabat Berbagi, itu mengapa terkadang yang terjadi adalah jebakan nilai-nilai artifisial tersebut. Anak tidak diajari untuk memahai hakikat nilai, mereka hanya sibuk mengejar angka-angka tanpa memahai makna. Ini sungguh menyedihkan. Karena buntutnya, generasi masa depan bangsa kita hanya generasi yang berorientasi pada nilai-nilai palsu dan buatan.
Sahabat Berbagi, mari kita renungkan bersama, adakah kita termasuk orang tua yang terjebak dalam tuntutan nilai-nilai palsu tadi? Mari introspeksi diri, demi generasi masa depan bangsa yang lebih berdaya.
Wallahu a’lam bisshowwab.
Senin, 23 Februari 2009
Balada Anak Negeri II
Sahabat berbagi, perkenankan lah saya untuk sharing sebuah pengalaman memilukan. Di suatu Sore, saya bersama istri dan buah hati pertama kami, Azzam, tengah asyik menikmati mentari sore di Taman Bungkul Surabaya. Lumayan ramai. Sampai untuk mencari bangku taman yang kosong saja sulit. Kebanyakan diisi remaja dan muda-mudi cangkrukan. Termasuk yang pacaran. Ya,sebagaimana kita tahu, Taman Bungkul kini berhasil disulap menjadi lokasi wisata keluarga yang murah meriah. Cukup bayar parkir 500 rupiah, bisa menikmati suasana taman kota yang cukup indah tertata. Sesuatu yang langka di Surabaya.
Ketika tengah bercengkrama dengan anak dan istri, dua orang bocah perempuan merapat ke bangku tempat kami duduk. Tangan mereka menengadah. Mulut mereka berucap ”Pak, sak welase”, sembari memasang air muka memelas.
Sungguh saya merasa pedih melihat dua bocah tersebut. Tangan saya segera merogoh uang di kantong. Tapi akal sehat saya menahan untuk tidak sekedar memberi uang, karena itu akan membuat mereka terus ”bahagia” berada di jalan.
Sejurus kemudian, saya pun menarik tangan salah seorang bocah lebih mendekat. Saya pun membuka komunikasi verbal dengan bertanya identitas mereka. Kedua anak tersebut ternyata bersaudara, Kakak-beradik. Khalifah, si Kakak, dan Aprilia si Adik. Khalifah, lebih akrab dipanggil Ifah, bersekolah kelas empat sekolah dasar, sedangkan Aprilia, alias Lia kelas satu. Keduanya bersekolah di sebuah SD Negeri di bilangan Pasar Keputran.
Pembicaraan mengalir terus. Ifah dan Lia bercerita banyak, meskipun dengan nada lirih dan malu-malu, khas bocah seumuran mereka.
”Kenapa kaliah mengemis?” tanya saya pelan.
”Cari uang buat beli buku,” jawab Ifah polos.
Ifah mengatakan Orang tuanya tidak mampu membelikannya buku pelajaran. Ibunya hanya berjualan minuman ringan, biasanya di sekitar Taman Bungkul, adapun Ayahnya lebih banyak menganggur. Dalam sehari, Ifah dan Lia bisa mengumpulkan 8 ribu rupiah hasil mengemis sepulang sekolah. Uang tersebut disetorkan kepada Ibunya untuk disimpan. ”Bila sudah cukup nanti dibelikan buku,” jelas Ifah.
Ada hal yang memilukan hati saya, Ifah dan Lia tidak malu menjadi pengemis. ‘Yang penting dapat uang’ mungkin demikian batin mereka. Itu jalan pintas cari uang yang terpikir dalam benak mereka. Alasan lain mereka tidak malu adalah karena guru dan kawan-kawan sekolah tidak tahu bila mereka berprofesi sebagai pengemis.
Sahabat berbagi, sungguh saya sangat khawatir, jangan-jangan banyak anak-anak kita yang ada di jalanan, yang berpikir praktis dan pintas untuk mencari uang: jadi pengemis. Mereka berpikir dan bertindak seperti itu karena mereka dimiskinkan oleh lingkungan yang tiada memberdayakan potensi mereka. Buntutnya, mereka menjadi generasi yang miskin mentalnya. Lingkungan yang memiskinkan itu dapat berupa keluarga, masyarakat sekitar, bahkan termasuk sekolah mereka. Ya. Semua yang mengajarkan anak-anak kita untuk berpikir instan, mau cari gampangnya saja tanpa usaha, bagi saya itu adalah bentuk pemiskinan mental . Bila mereka dan pola berpikir mereka tidak segera kita selamatkan, maka wajah masa depan negeri ini akan semakin suram.
Sahabat berbagi, bersediakah Anda untuk membantu mereka keluar dari kemiskinan mental? Mari Peduli untuk Berbagi.
Kamis, 19 Februari 2009
Inspirasi Sang Pejuang Tua
Sobandi, namanya. Pria 70 tahun asal Subang Jawa Barat ini masih sangat bersemangat berbagi kepada sesama, melalui BMT yang dikelolanya.
“Sekarang (BMT) sedang sakit,” kata Sobandi mengawali kisahnya. “Kembali seperti awal dulu. Awalnya modal Cuma tujuh juta setengah, terus berkembang sampai menjadi dua ratus jutaan,” lanjut Sobandi.
“Salah satu pendukung kita (BMT, red) adalah Pak almarhum (Baharudin) Lopa.”
Sejak 2008 lalu, kinerja keuangan BMT-nya terus menurun. Waktu itu, nasabah (peminjam) banyak yang menjadi korban banjir kanal Jakarta. “Mereka kesulitan mengembalikan dana pinjaman. Ya, mau gimana lagi, kita Cuma bisa memahami mereka,” kata Sobandi.
“Kadang ada yang datang, bilang: Saya sebenarnya mau nyetor (pinjaman), tapi kalau saya setor saya nggak bisa belanja. Akhirnya saya bilang, ya sudah dipakai saja dulu,” imbuh Kakek dengan 7 cucu ini.
Ya, Sobandi sangat tidak tega melihat kondisi orang-orang seperti mereka. Ia sendiri sudah memiliki kecukupan secara ekonomi. Ketiga anaknya bekerja di perbankan nasional. “Yang pertama di Bank Mandiri, kedua di Syariah Mandiri, ketiga di BNI 46,” ujarnya Bangga.
Sahabat berbagi, tentu kita berharap ada banyak orang yang gigih ingin berbagi kepada sesama, seperti Sobandi. Di masa tuanya, ia hanya berharap bisa terus berbagi kepada banyak orang.
Ponari dan Akal Sehat
Sahabat berbagi, tentu anda semua pernah mendengar nama Ponari. Ya. Bocah berusia 10 tahun dari Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang, mendadak terkenal karena ia memiliki sebuah batu, konon berupa kepala belut, yang dipercayai mampu menyembuhkan aneka macam penyakit. Dan masyarakat pun berbondong-bondong, meski harus berjejalan mendatangi tempat Ponari praktek. 4 orang pun tewas menjadi korban saat berjejalan antre praktek si dukun cilik. Astaghfirullah.
Sahabat berbagi, kadang realitas seperti diatas, bagi sebagian kita yang relatif terdidik, akan terasa menggelikan serta heran. Kok bisa dijaman serba modern seperti saat ini, masih saja orang percaya klenik. Bagi sebagaian masyarakat yang relijius juga mungkin akan mengelus dada melihat fenomena kekufuran itu. Tapi itu fakta yang terjadi. Dan itulah realitas masyarakat kita
Ada sejumlah analisis yang bisa dikemukakan. Pertama, kejadian itu akibat rendahnya tingkat pendidikan. Karena minimnya pendidikan, maka mereka mudah diperdaya oleh hal-hal klenik yang tidak masuk akal sehat. Bagaimana mungkin sebuah batu bisa menyembuhkan penyakit, hanya dengan cara mencelupkannya ke dalam air? Tentu dalam hal ini kita tidak mempertentangkan kehendak yang Maha kuasa. “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka jadilah ia (QS. Yaasin: 82). Namun dalam kasus Ponari para ulama, termasuk MUI mengindikasikan bahwa praktek Ponari termasuk bentuk klenik dan menjurus kepada pengkultusan dan kemusyrikan (Surabaya Post, 16/2).
Kedua, akibat rendahnya tingkat ekonomi. Ya, karena tingkat ekonomi yang rendah, masyarakat mencari segala cara instan untuk mencari uang, sekaligus menghindari pengeluaran yang banyak, alias ngirit. Tak ada akar, rotan pun jadi. Tak ada dokter, dukun pun jadi. Mungkin itu falsafah sederhananya. Pihak Ponari, baik keluarga maupun tetangga sekitar yang dalam hal ini turut “diuntungkan”, tentu melihat ini sebagai sumber ekonomi yang mesti dipertahankan. Demikian halnya pihak pasien, yang berharap si dukun cilik tetap berpraktek, karena murah dan berkhasiat. Artinya ada suply and demand. Klop.
Ketiga, ada semacam pembodohan masyarakat serta pengeksploitasian anak. Ya, pembodohan berupa pengobatan klenik, yang jelas tidak masuk akal, dan disaat yang sama eksploitasi pada Ponari yang sampai mengorbankan sekolah dan fisiknya. Tak heran, Komnas Anak yang dipimpin Kak Seto juga getol melakukan advokasi terhadap kasus ini.
Ketiga poin analisis di atas merupakan fenomena khas negara dunia ketiga yang kebanyakan masyarakatnya masih terbelakang dari sisi pendidikan dan ekonomi. Singkat kata, fenomena Ponari merupakan salah satu bentuk akibat dari kemiskinan yang terus-menerus. Tentu kita tidak berharap kondisi (kemiskinan) yang melanda masyarakat negeri ini, tidak terus bergerak menjadi kefakiran. Karena kefakiran ekonomi, berpotensi menghadirkan kekufuran. Hal ini telah disinyalir oleh Rasulullah SAW, “kaada al faqru ayyakuuna kufran”, bahwa kefakiran bisa mendekatkan kita pada kekufuran. Na’udzubillah min dzaalika.
Sahabat berbagi, agar kekhawatiran kita akan terjadinya kekufuran akibat kefakiran dan kemiskinan tidak terjadi, maka tentu kita mesti saling membantu satu dengan lainnya. Saling memberi, baik bantuan materi dan imateri. Termasuk saling mengingatkan dan menasehati kepada kebaikan.
Senin, 26 Januari 2009
Balada Palestina
Sahabat Berbagi, apa kabar Anda semua? Semoga karunia Allah SWT senantiasa tercurah pada kita. Tak lupa kita panjatkan pula doa bagi saudara-saudara kita di Palestina, yang kini tengah menghadapi kebiadaban agresor dunia bernama Israel la’natullah alaih.
Sahabat Berbagi, saat itu, Ahad dini hari tertanggal 18 Januari 2009 pukul 01.55 WIB, keheningan malam di sebuah desa dipecahkan oleh tangis bahagia seorang bayi mungil. Ya. Bayi tersebut jelas menangis bahagia karena dapat bertemu dengan ayah-bundanya, dan juga orang-orang yang dikasihi serta mengasihinya. Bayi mungil tersebut, Alif Putra Wahyu, jelas anak yang beruntung. Beruntung karena ia dikelilingi oleh kedamaian.
Kondisi bertolakbelakang terjadi di negeri seberang sana, di pesisir Laut Merah. Di kota Gaza, bayi-bayi sebayanya banyak yang tidak seberuntung Alif. Mereka terlahir diantara desingan peluru dan dentuman bom. Tak sedikit bahkan yang terlahir yatim. Ya. Bayi-bayi di Gaza Palestina tiada memiliki kebahagiaan yang dirasakan Alif dan kebanyakan bayi di negeri ini. Mereka tidak dikelilingi oleh kedamaian.
Terlebih belakangan ini, saat aksi teror zionis Israel semakin menunjukkan kebiadabannya. Dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, lebih dari seribu orang tewas menjadi korban keberingasan anak buah Ehud Olmert. Ribuan lainnya terluka, dan ratusan ribu lainnya sengsara di kamp-kamp pengungsian. Teriknya mentari di siang hari dan dinginnya udara malam, tanpa makanan dan air bersih, hanya berselimutkan duka-nestapa, menjadi hal yang biasa. Tiada tempat yang aman, apalagi nyaman di Gaza. Setiap detiknya, jutaan peluru diberondongkan dari moncong-moncong senapan serbu Israel. Laiknya malaikat maut yang siap menjemput ajal siapa saja tanpa pandang bulu; laki atau perempuan, dewasa atau anak, tua atau muda, termasuk para bayi yang masih merah seperti Alif. Mereka seolah tidak memiliki hak untuk hidup. Suatu hak yang sangat asasi.
Ironi memang. Di saat banyak negara mengkampanyekan Hak Asasi Manusia (HAM) dan supremasi hukum, terjadi sebuah pembantaian dan pembasmian atas satu bangsa (genosida). Ini jelas kejahatan kemanusiaan – yang atas dasar apapun - tiada dapat ditolelir. Sekali lagi ironinya, negara-negara besar, Amerika dan Eropa, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seolah tidak mampu menghentikan aksi brutal Israel.
Buktinya, resolusi PBB digagalkan oleh veto sang negara Adidaya, Amerika Serikat. Sebuah negara yang senantiasa menjadi polisi dunia (globocop), tapi kini diam seribu bahasa. Kecamanan bangsa dan masyarakat dari berbagai penjuru dunia, hanya dianggap angin lalu oleh zionis Israel. Disinilah letak ketidakadilan dunia. Ketidakadilan yang tiada pernah mampu menjawab pertanyaan bayi-bayi Palestina; kemanakah pergi orang-orang terkasihnya. Sungguh memilukan.
Sahabat Berbagi, Palestina memang telah takdirkan sebagai bumi para syuhada’. Tempat dimana Allah subhaanahu wata’ala menguji keimanan para hamba-Nya. Keimanan yang dilandasi kemurniaan niat hanya mengharap ridha-Nya. Dari sana pula keadilan sejati akan muncul. Keadilan yang menghadirkan kesejahteraan serta kedamaian hakiki. Sehingga bayi-bayi Gaza kelak lahir dikelilingi rasa damai, seperti yang dirasakan Alif.
Energi Kepahlawanan
Sahabat Berbagi, beberapa waktu terakhir, wacana publik negeri ini sempat dihiruk-pikukkan dengan pembahasan seputar kepahlawanan. Mulai yang paling mendasar, definisi pahlawan, hingga penganugerahan gelar kepahlawanan. Pro-kontra wacana tersebut bahkan menjurus pada saling klaim yang bisa berujung negatif, karena mulai dipolitisasi.
Akan tetapi, rasanya tepat memang bila kita membicarakan kepahlawan, mengingat negeri kita saat ini tengah membutuhkan energi kepahlawanan dalam mengarungi problematika kehidupan yang seolah tiada berujung. Ya, kita membutuhkan banyak energi kepahlawanan yang membuat kita senantiasa memiliki harapan untuk hidup di masa depan. Keluar dari keterpurukan seperti saat ini.
Berdiskusi seputar kepahlawanan, tentu tidak bisa lepas dari istilah-istilah berikut: pengorbanan, keberanian, kerja keras luar biasa, harapan, ketulusan, dan kepedulian. Anis Matta, penulis Buku “Mencari Pahlawan Indonesia”(2001) mendefinisikan Pahlawan adalah orang yang mengubah tantangan menjadi peluang, kelemahan menjadi kekuatan, kecemasan menjadi harapan, ketakutan menjadi keberanian, krisis menjadi berkah.
Oleh sebab itu, ia mengatakan pahlawan itu selalu penuh harapan, di saat virus keputusasaan mematikan semangat hidup orang lain. Mereka selalu mengetahui bagaimana mempertahankan vitalitas, bagaimana melawan ketakutan-ketakutan, bagaimana mempertahankan harapan di hadapan keputusasaan, bagaimana melampaui dorongan untuk menyerah dan pasrah di saat kelemahan mendera jiwa mereka.
Konsepsi senada disampaikan oleh Sayyid Qutb, salah seorang pemikir ulung abad 20. “Orang yang hidup dan berpikir untuk (kemaslahatan) orang banyak, maka ia akan hidup sebagai orang besar, dan (kelak) mati sebagai orang besar. Sedangkan orang yang hidup dan berpikir hanya untuk dirinya, ia akan hidup sebagai orang kerdil dan (kelak) mati sebagai orang kerdil. Itulah definisi kepahlawanan ala Sayyid Qutb.
Sahabat Berbagi, sejatinya, bila menilik dari definisi di atas, maka sangat mungkin ada banyak orang yang memiliki kadar kepahlawanan, dan berpeluang untuk menjadi pahlawan. Meskipun menjadi pahlawan bukanlah sebuah hal yang mesti dicita-citakan, dalam artian agar dipuji, dikenang, bahkan dikultuskan atau diberi anugerah kepahlawanan, dan tetek bengek lainnya. Seorang ayah yang bekerja secara luar biasa dalam mencari nafkah, adalah pahlawan bagi keluarganya; anak dan istrinya. Seorang petani yang secara luar biasa menanami sawah sehingga ketersediaan beras sebagai pangan utama negeri ini terjamin, jelas merupakan pahlawan bagi kita semua yang menikmati pangan beras. Begitu juga para nelayan, ibu rumah tangga, pengusaha, hingga abdi negara. Semua pahlawan. Syaratnya apa? Selama mereka memberikan kemanfaatan dan kontribusi positif bagi orang banyak, mereka cukup layak disebut pahlawan. Ya. Selama mereka terus peduli untuk berbagi kepada sesama, mereka adalah pahlawan. Tentu pahlawan dalam skala tertentu. Dan bukan kah sang Rasul Mulia, Muhammad SAW mengajarkan kita dengan sabdanya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang banyak.”